Tokyo, ibu kota Jepang yang dikenal sebagai pusat budaya dan teknologi, juga memiliki sisi gelap berupa wisata seks yang terus menuai kontroversi. Di kawasan-kawasan tertentu seperti Kabukicho, aktivitas ini merajalela, sering kali dengan dalih hiburan dewasa. Wisata seks di Tokyo, seperti di Bangkok, mencakup layanan dari klub malam, “hostess bars,” hingga jasa “delivery health” yang mempertemukan pelanggan dengan pekerja seks di lokasi pribadi.
Mengapa Kontroversial?
Prostitusi dilarang secara hukum di Jepang, tetapi undang-undang memiliki celah yang memungkinkan layanan seksual tertentu tetap beroperasi. Celah ini dimanfaatkan untuk mengemas prostitusi sebagai hiburan.
Banyak pekerja di industri ini dilaporkan mengalami tekanan psikologis, upah rendah, hingga terjebak dalam lingkaran perdagangan manusia. Beberapa wanita muda bahkan direkrut dengan iming-iming pekerjaan lain sebelum akhirnya dipaksa bekerja di sektor ini.
Wisatawan dari seluruh dunia datang untuk mencari pengalaman ini, menciptakan dilema antara keuntungan ekonomi dan dampak sosial. Kehadiran turis asing sering memperburuk stereotip negatif tentang wisata seksual di Asia.
Meski dianggap tabu oleh banyak masyarakat Jepang, fenomena ini tetap bertahan karena norma sosial yang kompleks dan ekonomi yang mendukung industri hiburan malam.
Upaya Mengatasi Masalah
Pemerintah Jepang menghadapi tantangan besar dalam mengontrol wisata seks ini. Langkah-langkah seperti pengawasan lebih ketat terhadap klub malam, kampanye kesadaran tentang perdagangan manusia, dan pemberdayaan pekerja seks menjadi fokus utama.
Di balik kilau modernitas Tokyo, kontroversi ini mencerminkan sisi gelap yang memerlukan perhatian serius. Seiring Jepang terus berkembang sebagai destinasi global, penanganan isu ini akan menjadi ujian nyata bagi komitmen negara terhadap hak asasi manusia dan etika pariwisata.